Tidak ada yang tahu secara pasti kapan seni benjang
dilahirkan. Namun diperkirakan pada pertengahan abad ke 19 cikal bakal seni ini
mulai ada, dan muai dikenal luas oleh masyarakat pada pertengahan tahun 1920-an.
Sebagai sebuah seni beladiri, benjang ini berkembang dari
ilmu bela diri tradisional Indonesia secara umum. Pada pertengahan abad ke 19
pemerintah Hindia Belanda Melarang semua jenis ilmu beladiri, sehubungan dengan
adanya kelompok pemuda yang menuntut kemerdekaan. Ilmu beladiri hanya boleh
diberikan pada kalangan tertentu saja, yaitu Sekolah pegawai pemerintah,
sekolah polisi, dan pegawai sipil. Untuk mengatasi larangan tersebut
akhirnya para pencinta ilmu beladiri secara sembunyi-sembunyi membentuk
perkumpulan yang berkedokan olahraga dan kesenian lewat jalur agama. Sejak
itulah muncul surau, pesantren, yang mengadakan latihan ilmu bela diri sebagai
bagian untuk melatih fisik mental para santri. Cara ini mampu membangkitkan
semngat pemuda dalam melawan penajjah.
Menurut Ajip Rosidi dalam
Ensiklopedi seni sunda, mengungkapkan bahwa olahraga dan kesenian lewat jalur
agama (islam) melahirkan seni Rudat. Seni Rudat ini kemudian berkembang
menjadi kencring atau genjring, serta gedut. Seni gedut terbagi menjadi Ujungan
yakni saling memukul dengan seutas rotan, Seredan yakni saling mendorong badan,
dan gesekan yakni saling menggesekan badan. Seni gedut ini terkenal dibeberapa
wilayah jawa barat termasuk di ujungberung yang lebih dikenal sebagai seni Terbangan.
Perubahan dari seni terbangan menjadi
seni benjang tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan proses ini
berlangsung pada akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20. Pada awalnya seni
benjang dikembangkan oleh beberapa tokoh silat dan ujungan, dikembangkan dalam
bentuk seni benjang gelut atau gulat. Kemudian seni benjang helaran dan topeng
benjang dikembangkan oleh seniman ubrug dan doger.
Pada tahun 1852 Residen priangan menetapkan bahwa daerah priangan terbuka
bagi siapa saja yang ingin menetap disana. Membaurnya
para pendatang dengan penduduk asli kabupaten bandung menjadikan perubahan
social dan budaya. Seni terbangan di masyarakat Bandung biasanya digunakan saat
acara-acara keagamaan memperingati hari besar Islam. Kemudian berkembang tidak
terbatas hanya pada lingkungan santri saja, seni terbangan ini kemudian sering
digunakan pada acara syukuran panen, kelahiran bayi, bersih desa, dsb. Seni
terbangan tidak hanya dimainkan di surau-surau saja, namun di tempat terbuka
seperti pelataran rumah juga mulai memainkan seni tradisi terbangan. Bila
dimainkan ditempat terbuka seperti ini biasanya pemain waditra berada di amben (bale-bale)
sambil memainkan lagu pengiring. Beberapa orang memahami bahwa kata Benjang berasal dari
kata “ben” dan “jang”. Ben kependekan dari kata amben, dan jang dari kata
bujang (laki-laki) karena seni ini hanya dimainkan oleh para
lelaki. Sehingga dapat disimpulan bahwa semua permainan yang
dilakukan di pelataran rumah dan diiringi oleh musik terbangan yang dimainkan
di amben oleh para bujang/lelaki disebut Benjang. Paham
yang lebih sederhana mengatakan bahwa seni benjang ini berarti laki-laki karena
hanya dimainkan oleh para lelaki. Saat itu waditra (alat musik) dasar seni
benjang masih terbilang sederhana, berupa 2 buah gebrang (terbang dasar) dan
satu buah kempring (terbang kecil). Itu merupakan bentuk transisi dari seni
terbangan.
Seni terbangan sendiri berasal dari
Majalaya, dimana urutan penyajian seni terbangan diawali dengan Nyuguh, Rajah
yang terdiri dari 3 pupuh, dan hiburan yang terdiri dari tarian yang diiringi
music terbangan. Pada pelaku seni buhun biasanya mereka menari dengan gerakan bebas hingga
mereka memasuki fase trance atau kesurupan dan melakukan tarian-tarian pencak
silat.
Lagu-lagu yang digunakan memiliki pola
tabuhan yang berbeda-beda. Salah satu lagu yang sering digunakan saat
mengiringi anak yang dikhitan pada pertunjukan seni benjang helaran adalah
Rincik Manik. Lagu Rincik Manik banyak dihapalkan oleh pelaku seni terbangan,
sementara para pelaku benjang jarang ada yang mengahaplny. Dengan demikian lagu
Rincik Manik ini menandakan adanya pengaruh seni terbangan yang pernah ada di
ujungberung terhadap perkembangan seni benjang saat ini. Waditra yang digunakan
juga memiliki kesamaan yakni empat buah terbangan yang terdiri dari, satu buah
tojo, dua buah Indung, satu buah keprang, dan satu buah dog-dog kecil. Kemudian
dalam perkembangannya seni benjang ini menggunakan 3 buak kulanter dan alat
musik modern seperti keybord, bass,dan melodis.
Seni Ubrug dan Doger merupakan awal
mula perkembangan benjang helaran dan benjangtopeng. Kesenian ubrug termasuk
jenis teater peran yang sudah punah. Kejayaan seni ubrug diteruskan oleh
kelompok Mad Sya’ir yang kemudian membubarkan diri dan membentuk group
benjang. Ke khasan group Benjang Mad Syai’r
ini adalah semua pemainnya laki-laki. Peran wanita dimainkan oleh laki-laki
yang berdandan seperti wanita. Dalam Ubrug lakon yang biasanya diperankan
berbentuk lakon-lakon pendek yang disebut bobodoran. Bobodoran ini lebih mengutamakan
tawa penonton. Dalam pertunjukan ubrug ini jalan cerita tidak terlalu penting,
kondisi inilah yang kemudian melahirkan seni benjang topeng.
Pertnjukan
dilakukan untuk memeriahkan berbagai hajatan, bila tidak ada penggilan biasanya
meraka melakukan pertunjukan keliling dan mendapatkan uang saweran atau yang
biasa disebut dengan ngamen. Alat musik yang digunakan diantaranya adalah gendang,
kulanter, terbang biang dan terompet.
Seni doger semacam seni ronggeng, seni
doger di Ujungberug lebih mirip seni ubrug. Sementara seni ubrug di ujungberung
lebih mirip ke bentuk pertunjukan tonil (sandiwara keliling).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar